Aku Merindukanmu

Jika waktu berhenti, maka dapat kulihat matanya yang teduh itu, tenggelam dalam tiap kedipan matanya, merasakan kembali hangatnya tatapan yang membuatku rindu akan hangatnya seduhan hangat cinta seorang wanita, yang dulu pernah kumiliki, kurasakan, lalu hilang. Memegang tangannya begitu lama. Merasakan hangatnya tangan yang ingin kupeluk dan menyampaikan getaran nadi lewat urat darahku yang juga merindukannya. Aku ingin dia tahu bahwa tiap nadiku merindukan dia. Aku tak perlu banyak bicara, aku ingin dia tahu. Aku ingin dia tahu, aku masih di sini.
Mungkin aku tak bisa menjadi yang dia inginkan, tapi aku menjadi air yang mengalir di samudera selamanya. Untuk dia.

Tapi aku tak bisa menghentikan waktu. Semesta tidak tunduk padaku. Dan tak pernah akan. Aku hanya tahu aku punya potongan jiwa yang sudah retak berkeping-keping, kucoba untuk mengumpulkannya kembali. Dan bayangan wajahnya ada di salah satu keping yang retak itu. Sesaat pun berlalu, dan dia harus pergi. Kuharapkan untuk kembali, nanti. Dan kuharap aku masih bisa melihat keping yang memantulkan wajahnya itu bersinar untukku.
Aku harus mencari perekat yang begitu kuat, agar semua kepingan itu bisa bersatu lagi. Supaya aku tahu, tak ada satupun di dunia ini yang bisa mencegahku untuk mengulang saat itu. Saat aku bersamanya, saat aku katakan padanya betapa aku merindukannya. Ia dan jiwanya. Ia dan tatapan matanya. Ia dan semesta yang bersamanya saat itu. Ia dan seluruh getaran akan dia yang bisa kurasakan saat meraih tangannya, dan merengkuhnya dalam kerinduanku akan dia.
Aku dan semestaku yang begitu menginginkannya. Aku dan jiwaku.
Malam sudah lewat, dan pagi menjelang. Seperti biasa, aku terjaga, dengan semua yang masih terjaga pagi ini. Semua yang belum mampu memejamkan mata dan menjenguk mimpi. Semua yang merasakan panas di pagi buta yang dingin. Semua yang tak bisa menemukan ketenangan saat jiwa lain terlelap. Pagi saat semua menutup selimut dan bertamu ke alam impian, aku menemukan diriku yang lain.